Contoh Banner
Cerpen: Khifaf, Sebab Aku Bukan Malaikat

Cerpen: Khifaf, Sebab Aku Bukan Malaikat

Senyum lembut kubingkai bersama angin yang asik menggemulaikan rerumputan. Kuhirup hawa kesejukan dengan khitmat dibaluri rasa rindu yang dalam. Kemudian kutuangkan bergumpal-gumpal rindu yang terus mengusung sesak jiwaku itu di secarik status facebook. Dengan harapan penuh, status tersebut dapat dibaca olehnya, sahabatku yang entah dimana rimbanya bermuara. Dan dapat dirasa pula betapa rindu telah menindihi jiwaku selama ini. Dimanapun dia berada, kuharap rindu yang terwakilkan oleh ungkapan status itu dapat diketahuinya.
Ketika jemariku dengan begitu antusiasnya saling beradu dengan keyboard laptop, tiba-tiba desiran angin sore di taman yang sering kukunjungi bersamanya ini, mendadak melemparku ke dalam ingatan masa lalu.
Kala itu, masih jelas tergambar diingatanku, bagaimana seorang Pertiwi, berceloteh tentang cinta di sini. Sembari mengorek-ngorek raga bangku tua yang seutuhnya terbuat dari kayu, yang jenisnya tak kami ketahui, dia terus bercerita sampai aku mual. Dari celotehnya dapat kuambil kesimpulan, kala itu dia sedang kasmaran.
Lalu, ketika mulutnya masih sibuk membulir-bulirkan kalimat demi kalimat, kupotong dengan sigap, “Kamu sedang kasmaran kepada Iko?” Tanyaku tersebut tak mendapatkan jawaban. Wajahnya yang getir-getir ceria, tiba-tiba berubah datar. Itu membuatku terheran sendiri. Apa aku salah bicara? Pikirku. Tetapi ..., seingatku dia pernah bercerita, bahwa dia sangat mencintai Iko, yang merupakan tetangganya sendiri. Iko kebetulan adalah kawanku juga. Kami sama-sama mengikuti les lukis. Disanalah pula awal kami berkenalan.
“Jangan kau katakan tentang itu, Resta!” tegasnya. “Kenapa?” tanyaku heran. “Sebab ... dia sudah mencintai orang lain. Aku terlambat, Res!” sahutnya mengotori mimik cerianya tadi. “Kau tahu dari siapa?” tanyaku penasaran. “Dari dia sendiri.” jawabnya menghentakkan ketenangan mimikku.
Berdesir hebat jantungku mendengar itu. Terasa seluruh bagian ekstremitasku membeku. Kutatap mata Pertiwi dalam. Bukan hanya sedih yang kini membaluri perasaanku. Melainkan dilema yang terus mengutuk jiwa kemanusiaanku. “Kau tak pernah menganggapku sahabatmu?” tanyanya kemudian mendegupkan jantungku lebih cepat dari tadi. Keringat dingin pun serasa membasahi jidadku yang jenong.
“Ke ..., kenapa kau bertanya begitu, Pertiwi? Jelas aku menganggapmu sahabatku. Sebab kau memang sahabatku! Kau yang terbaik diantara yang lainnya. Kau yang selalu setia dalam suka dan duka. Saat semua pergi karena kelemahanku, kau yang masih tetap setia.” ulasku mencoba mendatarkan gejolak dilema yang semakin memuncak dijiwaku.
 “Terus kenapa?” tanyanya menyorotiku tajam. “Kenapa kau berkhianat, Resta?” sambungnya yang membuatku sedikit gemetar. Gemetar karena jiwa yang terus mengutukku. “A ..., aku, “ jawabku gagap dengan sorotan mata tak wajar. “Aku minta maaf, Pertiwi! Aku tak pernah berencana menikungmu dari belakang. Aku tahu, ini adalah dosa yang mungkin tak termaafkan. Tapi ....”
“Tapi, tetap kau lakukan!” potongnya tegas. “Kau bilang ..., kau anggap aku sahabat yang terbaik bagimu. Tapi kau dusta, Resta! Aku tak pernah kau anggap sahabatmu!” tekannya membuatku merasa bertambah salah. Maka, kuraih tangannya cepat seraya memohon maaf. Tapi, dia tetap bersikeras tak memaafkan. Dihempaskannya tanganku kuat. Kemudian dia berkata, “Sudah berapa lama kukatakan kepadamu, bahwa aku mencintai Iko! Tapi kau! Dengan tega, kau ambil dia dariku. Dan ... yang lebih mengecewakan lagi. Tak kuketahui hal itu darimu. Melainkan dari Iko. Orang lain, Resta!” Ucapannya tak kujawab dengan bibirku. Melainkan hanya kusahuti dengan mata yang berkaca-kaca. Tak berkekuatan rasanya bibirku membuka bicara.
“Sengaja aku berceloteh-celoteh. Ketawa-tiwi hari ini. Aku ingin membuat kau nyaman! Agar kau ..., mau mengakui hal itu. Tapi, tidak! Kau tidak melakukannya. Kau tetap ingin membohongiku, Resta. Kau kejam! Padahal, jika kau mau mengatakan secara baik-baik bahwa kau dan Iko saling mencintai, aku tak akan marah. Aku akan mundur dari cinta segitiga ini.” tambahnya kemudian dengan muka marah yang tak tertahankan lagi. Tanpa membiarkanku mengeluarkan beberapa kata untuk membela diri, dia terus saja berlalu. Meninggalkanku dengan linangan air mata kekecewaan. Padahal aku sudah membuka sedikit bicara. Namun, ia tetap berlalu bersama bara amarah yang menjadi-jadi.
Semenjak hari itu, Pertiwi menghilang. Dia meninggalkanku dalam dilema yang panjang. Bahkan setelah Iko kuputuskan, dilema bersalah itu tetap masih menggumpal nuraniku. Sudah begitu banyak kawan-kawan kuhubungi untuk menanyakan kebaradaan Pertiwi. Namun nihil. Dia tetap tak kutemui. Maka, dilemaku pun semakin menjadi-jadi. Terlebih karena rindu yang juga terus hadir bagai arwah yang enggan hilang. Terus menyusup halus, ke dalam liang-liang jiwaku.
Jemariku masih sibuk beradu dengan keyboard. Terus begitu, hingga terbentuk sebuah status yang mengisi wall facebookku.
Ada intan, yang berharganya tak pernah bisa kubeli dengan uang. Aku hanyalah batu akik biasa yang tersemat dikepedihan rindu. Dulu, ketika kau, Intan, saling berjajar denganku. Saling mengisi relung-relung kurang dan lebihku, aku begitu mengkilau. Begitu memikat mata. Tak pernah se-hari pun, aku kehilangan kemilau itu. Hingga kemudian, kau mendadak sombong, Intan. Kau alihkan semua itu dari pandanganku. Membuatku miskin dan kering kerontang di jalan setapak ini. Pedih! Perih! Sebab, bukan hanya aku merindukanmu. Melainkan perih karena kata khianat yang kau tudingkan. Ya, aku memang berkhianat. Tak kupungkiri. Sempat kulakukan. Tapi ..., itu adalah kekihialafanku sebagai manusia. Bukan malaikat! Aku terbutakan perasaanku hingga melupakan perasaanmu. Semua pikiranku teralihkan kepada sesosok insan yang juga bermuara dihatimu. Tapi ... jujur, kau lebih kucintai, Intan. Tanpamu, aku tak punyai kilau. Kilau yang kugunakan untuk berani memeluk dunia. Percaya atau tidak, kini aku tersesat. Aku tersesat dalam bara rindu dan rasa salah yang tiada bertepi. Intan ... jika kau, dan waktu suatu hari membawamu jalan-jalan ke wall facebookku. Tolong berilah aku tanda. Bahwa aku masihlah sahabatmu. Aku belum menjadi kenangan yang penuh dengan luka. Aku juga belum menjadi masa lalumu. Untuk : Pertiwi Annova
Beberapa saat usai aku mengepostkan status tersebut. Keajaiban terjadi. Itu membuat mataku yang memang bulat menjadi bertambah bulat. Kulihat dua komenan tersemat di bawah status tersebut. Segera kubaca tanpa membiarkan jeda berlama-lama menelan waktuku.
Pertiwi Annova: Dari dulu juga aku tidak melupakanmu, Resta. Aku sedang di Medan sekarang. Kalau kau rasa Jakarta itu dekat, terbanglah kemari sesekali. Aku selalu setia menantimu. Jangan kau galaukan lagi dirimu dengan kata-kata busukku waktu itu. Aku bahkan tak mengingatnya lagi. Sebab bagiku ..., kau memang yang terbaik. Maafkan sikap kasarku waktu itu, ya? Aku terlalu gengsi mengakui bahwa satu-satunya yang dicintai Iko bukanlah aku. Tapi, kau! Bahkan sampai saat ini, kurasa dia masih menunggumu. Aku bukanlah Intan. Kaulah Intannya! Sementara aku hanyalah batu akik biasa. Bagiku, kau cukuplah istimewa. Dan, memiliki sahabat sepertimu adalah hadiah yang selalu membuatku bersyukur. Kutahu, kita tak luput dari khilaf. Sebab kita adalah manusia. Memang sudah dasarnya diciptakan dengan kekhilafan. Maka, jangan lagi kau risaukan perselisihan diantara kita. Sebab itu, hanyalah sedikit noda yang membuat kita menjadi lebih dewasa. Yang penting, kekhilafan itu bukanlah titik penghancur. Melainkan sebuah titik awal pemikiran yang dapat dijadikan pelajaran.
Iko Saputra: Maafkan aku karena telah menjadi penyebab retaknya hubungan kalian. Tapi, aku bersyukur. Karena sekarang kalian sudah berbaikan. Dan ... benar kata Pertiwi, Resta. Aku masih menunggumu. Sudah berkali-kali aku belajar mencintai orang lain, sejak kau putuskan aku. Tapi, tetap tak bisa! Aku masih saja merindukanmu. Masih saja mengharapkanmu.
Resta Andiana: Pertiwi, terimakasih. Aku bahagia kau telah memaafkanku. Yah, demimu, Jakarta-Medan itu tak jauh, kok. Liburan tahun baru, kuharap dapat ke sana. Tunggu aku, ya?! Dan untuk Iko, telpon aku dong! Ada hal-hal yang harus kita bicarakan secara langsung. Hal-hal yang dulu sempat gantung.
Semenjak hari itu, kemilauku kaya kembali. Itu karena Pertiwi telah kembali. Iko dan aku juga kemudian balikan. Kusadari, bahwa hatiku sama halnya dengan Iko. Aku memutuskannya dulu juga bukan karena tak cinta, melainkan karena Pertiwi yang tak kuingini menjadi masa lalu. Kini, hidupku tak sepi lagi. Ada seorang kekasih idaman. Ada juga seorang sahabat terbaik yang akan kujumpai ketika liburan tahun baru nanti.



Advertisement

Baca juga:

Cerpen: Khifaf, Sebab Aku Bukan Malaikat