Contoh Banner
Laki-Laki Blogger

Laki-Laki Blogger


Hasil gambar untuk blogger
Aku sudah mengenal laki-laki itu sejak lama. Yang kutahu, dia sangat pelit dalam berkata-kata. Selama ini, aku melihatnya dengan pandangan yang aneh. Dan bukan hanya aku, kurasa, semua mahasiswa memandangnya dengan cara yang sama sepertiku. Dia tak berkawan, kurasa bukan orang yang tak ingin berkawan dengannya; mengingat aku dan kawan-kawanku sering menegurnya, mengajaknya ke kantin, ke perpustakaan atau lainnya. Dan dia tetap hanya merespon dengan diam serta senyum simpul saja pada apa yang kami lakukan. Satu-satunya yang tak pernah lepas darinya hanyalah laptop; laptop adalah kawan sejatinya.
Belakangan aku tahu, dia adalah penulis blog yang sangat aktif. Dia menulis beragam tema tanpa pilih-pilih. Setiap kali aku membaca postingannya, aku benar-benar terkesima: dia adalah penulis yang hebat. Ada beberapa judul yang terletak di atas blog, dan aku sangat tertarik dengan judul ‘cerpen’, maka aku pun tak pernah ketinggalan dengan setiap cerpen-cerpennya.

***
Laki-laki blogger, bernama Aron dengan wajah bulat serta rambut jingkrak-jingkrak itu tiba-tiba hari ini tidak kuliah, dan dosen langsung bertanya padaku mengenai hal itu—itu karena rumah kami bertetangga. “Saya tidak tahu, Bu,” jawabku.  “Seingat saya....” Aku terdiam membayangkan wajah pucat Aron yang tak sengaja kulihat kemarin sore. Dia duduk sendiri di bawah pohon mangga yang ada di depan rumahnya dengan tangan yang sedikit bergetar. “Mungkin dia sakit, Bu,” tambahku tak yakin.
Untuk meyakinkan ucapanku, aku pun datang ke rumahnya usai pulang kuliah. “Eh, Nak Aisha,” sapa Bu Rika, mamanya Aron di depan pintu ketika membukakan pintu untukku. “Tumben kemari, ada apa?” Yah, aku memang sangat tumben ke sini. Mungkin karena Aron tidak mau berkawan denganku, maksudku... dia tidak mau berkawan dengan siapa pun—kecuali makhluk tak bernyawa warna hitam yang selalu dipakai untuk nge—posting blog: laptop
Setelah aku masuk dan beliau menyuguhkanku segelas teh, aku bertanya, “Aron apa kabar? Kenapa dia tidak kuliah hari ini?” Belum sempat beliau menjawab, aku berkata kembali, “Oh, iya. Kami sekelas Tante. Saya yakin, Aron pasti tidak pernah menceritakan hal itu kepada Tante.”
Boro-boro menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wajah Bu Rika menjadi layu. “Aisha... apa kamu masih terbayang-bayang dengan ibumu?”
Aku baru mau menyesap tehku, dan karena pertanyaannya, gelas yang sudah di tanganku kuletakkan kembali ke meja. “Semua anak yang ditinggal orang tuanya, pasti akan selalu terbayang-bayang. Jelas saya tak akan mungkin dapat menghapus bayang-bayang ibu saya yang selalu bertandang. Apalagi kematian beliau tidak biasa.”
“Apa kamu sering menangis?” Beliau bertanya dengan hati-hati, seorang lidahnya kelu untuk menanyakan hal itu.
Aku mencoba tersenyum. “Iya,” balasku lesu. Kutegakkan pandanganku dan berkata kembali, “Apa kabar Aron?” Aku dapat melihat aura tak menyenangkan lolos di wajah Bu Rika, dan aku langsung menduga kalau hal yang tidak menyenangkan telah terjadi kepada putra semata wayangnya, Aron. Si penggila blog itu mungkin sakit keras, atau apalah yang membuat mamanya terlihat begitu terluka. Kusesap teh yang masih hangat itu dan kemudian bertanya kembali dengan hati-hati, “Apa... Aron baik-baik saja? Atau sedang sekarat?
Bu Rika tiba-tiba memegang tanganku dengan mata yang berkaca-kaca, membuatku terkejut. “Aron sangat cinta padamu,” ungkapnya tanpa ragu. Aku terperangah, dan kurasa yang kudengar ini benar-benar adalah mimpi. “Saya tahu karena...  sejak SMP dia sudah mengumpulkan foto-foto kamu di kamarnya. Dia juga menulis banyak surat cinta untukmu.”
“Sejak SMP?” ulangku tak percaya.
“Ya, tapi dia anak yang pemalu. Dia tidak berani mengatakannya.”
Aku kebingungan. Aku rasa beliau seolah menyembunyikan sesuatu. Pertanyaanku tentang Aron sama sekali tidak mendapat respon, dan beliau malah membicarakan hal yang seperti mustahil terjadi. Aku bertanya kembali dengan pertanyaan bermakna sama seperti semula, “Lalu apa yang terjadi dengan Aron sekarang? Apa dia baik-baik saja? Kabarnya bagaimana?”
Air mata beliau tiba-tiba lumer, aku menjadi sangat heran bercampur bingung. “Aron... Aron... Aron—”
“Aron kenapa?” potongku tak sabar.
“Aron sedang ada di rumah sakit jiwa.”
Aku terkejut. “Kenapa? Dia... dia sepertinya tidak....”
“Mari kita ke rumah sakit sekarang, dan saya akan menceritakan semuanya tentang dia kepadamu.”
***
Aron duduk meringkuk dengan hampir seluruh tubuhnya bergetar—seperti ketakutan dan apatis dengan semuanya. Aku dan Bu Riska duduk di sampingnya, di atas tempat tidurnya, dan seolah kami tak ada di sampingnya. Aku menelan ludah dan air mataku sudah terlihat memenuhi mata. Tanganku juga bergetar dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin berteriak, dan memaki bahkan menendang atau pun mencincang Aron, tapi aku tak bisa melakukannya. Tanganku kaku.
Bu Rika mengelus-ngelus pundakku. Sorotan matanya terlihat seolah mengatakan kepadaku, “Kumohon!” Aku hanya mampu terdiam dengan napas yang nyaris tersengal-sengal.
Hanya sekitar sejam kami berada di sana, dan kemudian kami pulang. Kurebahkan diriku di kamar dan mencoba memfokuskan pikiranku pada satu titik di dahi agar aku dapat melakukan autosugesti untuk melupakan semua kesedihan yang kualami. Namun tidak bisa. Tetap tidak bisa. Rahasia besar yang kuketahui terlalu membebani, terlalu menyakitkan, terlalu menyedihkan, dan membuatku sangat bimbang.
Aku sadar, bukan hanya Aron yang mempunyai perasaan khusus kepadaku, akan tetapi juga aku. Sedari dulu aku selalu memperhatikannya, aku menyapanya, dan aku aku juga selalu membaca postingannya—walau kebanyakan adalah cerpen. Fakta itu terasa melegakan karena cintaku tidak hanya bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi, ada satu hal lagi fakta yang kuketahui. Aron adalah pembunuh ibuku. Dia adalah psikopat yang selalu menulis kejadian pembunuhan yang dialaminya dalam bentuk cerpen di blog-nya. Hasrat membunuh tak pernah kering dalam jiwanya, dan itulah yang membuatnya merenggut nyawa ibuku dengan sebilah pisau di perutnya pada tahun lalu. Dan karena itu, karena membunuh ibu dari orang yang di kasihinya, dia menjadi stres berat hingga akhirnya harus tinggal di RSJ (Rumah Sakit Jiwa).

Aku tahu kejadian itu karena aku membaca semua cerpennya. Selain itu, Bu Rika juga sudah menceritakan semuanya dalam perjalan menuju RSJ. Sekarang, aku hanya harus memilih: terus mencintainya, atau membencinya. Aku sangat paham, hal yang paling menyakitkan di dunia ini salah satunya adalah mempunyai dua rasa pada satu orang, yaitu Kau mencintainya dan Kau juga membencinya. Dan pada akhirnya Kau harus memutuskan rasa mana yang harus tetap Kau jaga. Sebab sejatinya, Benci dan Cinta adalah dua rasa yang tidak akan pernah menyatu. 

(Sebuah cerpen karya Aya Scabiosa—saya sendiri. Saya menulis ini untuk hobi dan sebagai wadah imajinasi yang dapat menguatkan otak kanan sekaligus otak kiri. Ditulis pada 17-03-2016)




Advertisement

Baca juga:

Laki-Laki Blogger